Batik sebagai Hegemoni

10:43 pm

BATIK SEBAGAI HEGEMONI



BAB I
PENDAHULUAN

v  Latar Belakang
           Batik menjadi salah satu komponen dalam dunia fashion yang sekarang ini tengah dikembangkan menjadi komoditas autentik kreatif khas Indonesia, dan apa yang membuatnya begitu spesial yaitu salah satunya, Batik memiliki kandungan makna yang besar sebab dipenuhi begitu banyak makna semiotis lokal di dalamnya. Semenjak ditetapkannya Batik sebagai salah satu warisan kebudayaan dunia oleh UNESCO pada tahun 2009, kini Batik bertransformasi lebih jauh untuk menjadi salah satu media dalam mengkomunikasikan segala pesan yang terkandung dalam motif Batik itu sendiri sertatren dalam fashion yang digemari banyak orang di dunia ini.
          Generasi muda bangsa Indonesia sebagai penerus sekaligus pelestari budaya Batik ini pun secara perlahan mulai memiliki kesadaran untuk terus meningkatkan potensi Batik melalui beragam cara, mulai dari pengkombinasian budaya asing dengan Batik agar menghasilkan sebuah karya yang digemari lebih banyak segmen hingga mengimplementasikan kegiatan-kegiatan pelestarian Batik seperti sosialisasi budaya Batik kepada masyarakat luas dan sebagainya, generasi muda lah yang berpeluang besar dalam membentuk tren akan Batik sekaligus menjaganya.
Batik sebagai salah satu unsur kebudayaan lokal memiliki sejarah yang panjang di negeri ini, telah menjadi sesuatu yang diketahui serta dimanfaatkan masyarakat sejak dahulu kala. Penemuan Arca Ganesha di Kota Blitar yang mengindikasikan budaya Batik, penyebaran agama Islam melalui pemanfaatan kebudayaan Batik, hingga pemanfaatannya dalam sejarah kebudayaan warga Keraton di Yogyakarya telah menunjukan sepak terjang Batikdi Indonesia.
Secara hegemonis batik adalah simbol identitas kultural bangsa dan menjadi penanda nasionalisme. Namun hal ini tidak berlaku dominan di seluruh Indonesia, disebabkan masih ada beberapa pandangan yang menganggap bahwa Batik hanyalah dimiliki oleh masyarakat dalam daerah tertentu, sehingga memunculkan persepsi bahwa Batik tidaklah universal bagi masyarakat Indonesia. Keinginan pemerintah untuk mewajibkan pengenaan pakaian batik demi alasan nasionalisme maupun mengikuti strategi pemerintah akan promosi Batik merupakan bentuk hegemoni yang tersirat, dengan asumsi bahwa seluruh masyarakat Indonesia merupakan masyarakat penggemar Batik dan memiliki sikap nasioanalis, namun pada nyatanya Batik tidak bisa serta merta diterapkan kepada setiap anggota masyarakat karena tidak semua orang menyukai Batik. Namun, di sisi lain Batik adalah bentuk kebudayaan yang menjadi identitas bangsa ini, dimana pelestarian terhadapnya sangatlah penting bagi kebaikan negeri Indonesia.

BAB II
ISI

Industri fashion merupakan aktivitas yang berkaitan dengan pemilihan desain, seperti motif dari produk tersebut. Di Indonesia sendiri, hal yang bisa dibanggakan dalam dunia fashion adalah batik. Batik yang kaya motif menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun domestik karena mempunyai nilai jual dan kreativitas seni yang tinggi, bahkan UNESCO menyatakan batik sebagai warisan dunia pada tanggal 2 Oktober 2009. Hingga kini, daerah-daerah di Indonesia mempunyai motif khasnya sendiri pada batik.

v  Batik dan fashion
Kementerian Perdagangan Indonesia menyatakan bahwa Indonesia merupakan suatu Negara dengan tingkat industri kreatif yang dapat diperhitungkan, salah satunya yakni fashion (Suzianti, Hanum, Anisah, & Aprilliandary, 2014) yang mendapat lebih kurang 43% peminat dibanding layanan iklan, arsitektur, kerajinan seni, kerajinan tangan, desain, film, musik, seni penampilan, penerbitan, penelitian dan perkembangan, software, televisi dan radio, mainan, dan video game. Fashion di Indonesia sendiri beraneka ragam dan memiliki keunikan masing-masing. Tidak hanya itu, fashion di negeri ini terdiri dari fashion tradisional, modern, dan bahkan gabungan keduanya yang tidak kalah menarik. Di era kontemporer ini, fashion hasil gabungan dari ciri tradisional dan modern semakin menjamur dan dinikmati. Para desainer anak-anak bangsa seakan tidak ingin berhenti berkreasi dari fashion yang telah ada. Kombinasi keduanya melahirkan sesuatu yang unik dan menarik bagi banyak orang.
Menurut Pearsall (2002) dalam artikel yang ditulis oleh Sarpong, Howard, & Osei-Ntiri mendefinisikan fashion sebagai sebuah teknik yang lebih dari memadu-padankan baju tetapi bagaimana seseorang mampu menggunakan baju dan aseksoris yang cocok untuk dirinya. Fashion berkembang seiring dengan perubahan zaman atau globalisasi. Tidak dapat dipungkiri kalau globalisasi mempunyai dampak yang signifikan khususnya pada industri fashion, bagaimana dan dimana fashion diproduksi maka dunia industri atau pemasaran juga berubah (Sarpong, Howard, dan Osei-Ntiri, 2011, h. 98).Jika berbicara mengenai fashion pasti tidak terlepas dengan tren. Sesuatu yang menjadi popular pada beberapa tahun tertentu disebut sebagai tren. Sama halnya dengan fashion, beberapa gaya menjadi popular pada masanya sendiri. Orang-orang akan memakai gaya yang sama sesuai dengan tren atau fashion apa yang sedang digemari.
Batik sebagai salah satu unsur kebudayaan lokal memiliki sejarah yang panjang di negeri ini, telah menjadi sesuatu yang diketahui serta dimanfaatkan masyarakat sejak dahulu kala.
v  Batik secara historis
Pemahaman akan kajian historis dari batik tersendiri sangat penting untuk dipahami. Simpang siur tentang dari mana asal batik itu tetap masih menyertai bukanlah bahwa tradisi marak memakai pakaian batik justru berada di Indonesia atau jika dibanding dengan India atau negara-negara yang lain, dan juga sekaligus nama batik telah lama terkait melekat dengan Indonesia. Hal inilah maka dalam membicarakan perkembangan atau perubahan budaya  dengan pendekatan bias minority yang sekarang baru ngetren berlaku pada teori-teori post-kolonial, dan post-struktural yang dalam hal ini bijzonder aanleg en geshikteid tot herscheppende arbeid, bukan masalah dari mana berasal tetapi tentang bagaimana kemampuan mengolahnya atau juga agen pengembangannya termasuk dalam hal ini pada basic personality of each culture dalam arti lain adalah peran lokal genius. Bertolak dari hal tersebut maka (Brandes,1889 h.122) menawarkan bahwa sebelum kedatangan agama Hindu dari India , masyarakat Jawa telah memiliki 10 macam kepandaian ( basic culural traits) termasuk di antaranya adalah: batik, wayang, gamelan, tembang (metrum), mengerjakan logam, sistem mata uang, pelayaran, bercocoktanam, irigasi, dan sistem pemerintahan yang teratur. Terkait dengan kumpulan berbagai prasasti yang pernah dirangkum oleh Brandes (1913) dalam Oud-Javansche- Oorkonden kelompok seniman atau perajin yang termasuk seperi tukang jahit, tukang sulam, dan tukang batik dimasukkan dalam kelompok yang disebut pajaran. Subroto (1991 h.41) menyiratkan bahwa tradisi batik pada masyarakat Jawa kuno pernah disebut-sebut dalam kitab Sumanasantaka yang tertulis : ewer noralega ng apanday anulis para lukis asipet mwang anjahityang dalam hal ini bertolak menurut Zoetmulder kata-kata anulis dan asipet lebih diartikan membatik. Pendapat ini meskipun masih dalam perdebatan yang belum selesai apabila dikaitkan berbagai reifikasi bukti visual yang dapat dijadikan sebagai saksi misalnya sekitar abad XIV masehi telah ditemukan arca Ganesha yang berada di dekat kota Blitar dengan menggunakan kain bermotif kawungdemikian juga arca Kendedes atau Pradnyaparamita di candi Singasari dengan menggunakan kain bermotif cindhe jamprang. Kemudian ketika agama Islam mulai berpengaruh bersamaan dengan segala industri budaya selalu dikaitkan dengan peran tokoh Walisanga. Salah satu contoh adalah wayang apabila melihat setiap tokoh selalu menggunakan asesori pakaian dengan motif batik sebagaimana yang ada sampai kini. Dalam lanjut perkembangannya batik tetap menjadi seni klasik yang dimulyakan di istana sebagaimana pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram abad XVI masehi (Bratasiswara, 2000 h.90). Bertolak sejak itu maka sampai pada terjadinya palihan menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta batik mendapat formasi normatif yang tegas menjadi sistem pranata sosial sebagaimana termuat dalam kitab angger, serat winduaji, dan pranatan dalem bab kampuh lan dodotan yang dalam hal ini terkait dengan ketentuan motif batik apa yang harus dipakai sesuai dengan tingkatan struktur sosial masyarakat di wilayah dua kerajaan tersebut.
Menurut Gittinger (dikutip dari Yunus & Tulasi, 2012) studi mengenai batik juga menunjukkan bahwa pentingnya aspek pada praktik komunikasi mengenai kebudayaan Jawa, yang dipengaruhi kuat oleh status sosial dan hubungan kekuasaan dan adanya hubungan dekat dengan penyebaran Kerajaan Islam Majapahit. Meskipun seni batik sangat kuno, tetapi batik berhasil disebarkan dengan sangat baik pada abad ke 18.Dalam perayaan budaya, motif batik  berjalan terus untuk menentukan kelas strata pada perayaan umum. Contohnya di Jogja dan Solo, sang raja menggunakan motif batik Parang Rusak yang menjadikan semua orang tahu bahwa beliau adalah orang kelas atas. Raja Pakubowono ke III pun mengatakan (dikutip dari Yahya, 1985, p. 16):
Adapun barang berupa kain panjang (jarit) yang termasuk larangansaya (raja): Batik Sawat, dan batik parang rusak, batik cumangkiriyang calacep, modang, bangun tulak, lenga-teleng, daragam, dantumpal. Adapun batik Cumangkirang yang acalecep berupa lunglungan(sulur) atau kekembangan (bunga-bungaan), yang sayaperbolehkan dipakai Patih, dan abdidalem, Wedana.(p. 16).

Bila dikaitkan oleh teori, maka motif batik merupakan bentuk dari semiotika. Jika makna tanda-tanda, dan khususnya hubungan antara penanda dan petanda didasarkan pada konvensi dan tidak alami, itu berarti bahwa kita perlu masyarakat dan lembaga untuk mengajar kita bagaimana menafsirkan tanda-tanda dan simbol (Berger, 2014). Motif batik tidak hanya sekedar guratan-guratan canting yang digoreskan oleh para pembatik, namun lebih dari itu. Perpaduan antara garis, gambar, dan motif lain menggambarkan maksud tertentu, sesuai dengan darimana batik itu berasal. Maksu tertentu itulah yang dapat dikatakan bagian dari bentuk semiotika batik.
Dalam perkembangan yang lebih lanjut seiring dengan proses demokratisasi budaya istana karena mulai boleh dipelajari dan diaset atau dipraktekkan pada masyarakat di luar tembok istana, tampaknya berbagai nuansa istana mulai marak dinikmati keindahannya pada berbagai tingkatan struktur sosial. Kebijakan yang datang dari istana ini bukanlah menyurutkan wibawa raja, karena setelah merdeka dan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pemerintahan swapraja sebagaimana istana-istana di seluruh Nusantara terlebur menjadi bagian Republik Indonesia, sehingga istana beralih fungsi sebagai pelindung budaya lokal. Hal inilah yang mendasari seni kerajinan batik telah marak dan tawar dari nilai-nilai kekharismaan yang pada masa sebelumnya tidak pernah terjadi. Terkait dengan hal tersebut ternyata batik menjadi marak selain berfungsi sebagai bagian sandang dan dalam perkembangannya semakin beraneka beralih fungsi yaitu bisa juga sebagai unsur-unsur interior di antaranya adalah; hiasan dinding, korden, sprei, taplak meja, daperri, dan souvenir, sehingga dalam wilayah ini predikatnya sering disebut batik kontemporer.
         

Perbedaan batik tradisional dan batik kontemporer modern sekarang ini sudah banyak di representasikan di berbagai media, baik secara eksplisit maupun implisit. Di satu sisi masih ada pihak-pihak yang melihat batik sebagai produk budaya tradisional yang berkaitan dengan nilai-nilai leluhur, namun yang lebih dominan sekarang adalah batik kontemporer yang di anggap sudah modern dan mengikuti perkembangan jaman, fashionable, sehingga tidak lagi kuno. Seperti yang disebut diatas, sudah tidak banyak yang melihat batik dari fungsi tradisionalnya sebagai penanda status dan merepresentasikan nilai-nilai filosofi tertentu.   

v  Fashion sebagai salah satu bentuk hegemoni budaya
      Pemerintah secara nasional gencar dalam usaha memajukan industri batik, dan industri batik disebut merupakan salah satu kekuatan ekonomi negara. Batik diunggulkan sebagai produk budaya Indonesia untuk bersaing di pasar global. Sehingga banyak usaha untuk menjadikan batik go international, termasuk berbagai upaya modernisasi. Batik tradisional dari beragam daerah dan beragam corak ornamen berusaha diolah semenarik mungkin. Pengolahan tersebut dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan mengkombinasikan motif. Para desainer-desainer anak bangsa berusaha memadukan corak dan ornamen batik tradisional dengan outfit modern sehingga didapati kini batik tidak selalu oldskool tapi berubah menjadi suatu fashion yang unik dan ‘menjual’.
        Secara hegemonis batik adalah simbol identitas kultural bangsa dan menjadi penanda nasionalisme. Namun hal ini tidak berlaku dominan di seluruh Indonesia. Masih ada pandangan-pandangan yang menganggap batik hanyalah kebudayaan Jawa, sehingga mereka yang bukan termasuk masyarakat Jawa tidak merasa memiliki. Dengan demikian, batik tidak diakui sebagai budaya Indonesia secara kolektif, dengan mengkontruksikan batik sabagai budaya nasional.
      Dari masa orde baru dimana terjadi berbagai penyeragaman demi menjaga stabilitas negara, dan mewujudkan batik sebagai budaya nasional. Dari fenomena ini dapat terlihat ide batik sebagai budaya nasional dilihat sebagai hegemoni, ketika suatu dominasi budaya Jawa terhadap budaya lainnya yang dimarjinalkan. Hal tersebut akhirnya menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah nasib komoditi nasional selain batik, terlebih di Indonesia khususnya diluar Jawa tidak hanya batik komoditi nasional namun ada kain ulos, songket, koteka, dan lain-lain. Dengan demikian, maka tidak sepenuhnya tepat jika batik dijadikan identitas Indonesia secara menyeluruh dan batik tidak diakui sebagai budaya nasional secara kolektif (Shafita, 2009).
Penggunaan batik secara maksimal juga didukung oleh campur tangan dari pemerintah. Pemerintah menurunkan surat keputusan yang isinya menjelaskan bahwa pegawai negeri wajib memakai batik pada hari Jumat. Tidak hanya pemerintah pula, namun beberapa sekolah di Indonesia mempunyai seragam batik sendiri untuk dikenakan para siswa. Dengan begitu, masyarakat secara tidak sadar akan menganggap batik bukan sesuatu yang terlihat kuno. Hal ini merupakan suatu bentuk hegemoni.




Pertama, peraturan pemerintah yang mewajibkan para pegawai memakai batik merupakan hal yang bersifat mengikat dan memaksa maka masyarakat sebenarnya telah dipaksa untuk menggunakan batik padahal kita tahu tidak semua orang Indonesia senang menggunakan batik. Namun, sejak diresmikannya pula batik sebagai warisan dunia oleh UNESCO masyarakat secara tidak terpaksa turut berpartisipasi karena sebagai bentuk dukungan warisan dunia dan pelestarian budaya Indonesia. McPhail & Thomas (2006) menyebutnya sebuah standar kesuksesan dari hegemoni; berhasil secara budaya dan tidak menggunakan kekerasan. Masyarakat dibuat tidak terpaksa dalam mengenakan batik.

v  Hegemoni Batik
Perkembangan hegemoni berlanjut pada penetapan administrasi dalam skala nasional. Melalui penentapan Surat Keputusan Korps Pegawai Republik Indonesia Dewan Pengurus Nasional  Nomor 02 Tahun 2011 Tentang pakaian seragam batik korps pegawai Republik Indonesia mewujudkan salah satu upaya pembentukan batik sebagai identitas Indonesia. Pada keberadaan sebenarnya batik telah dibahas jauh sebelum surat keputusan ini telah disahkan. Sebelum pengesahan surat ini muncul sebuah musyawarah nasional VII KOPRI Nomor KEP-08/MUNAS VII/XI/2009 yang membahas batik menjadi seragam nasional yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.  Tanggal 2 Oktober ditentukan oleh pemerintah sebagai hari batik nasional atas dasar penetapan batik sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Penetapan ini dilakukan oleh presiden SBY yang mendapatkan dukungan dari pemerintah dan swasta. Melalui surat Sekretaris Kementerian BUMN No. S397/S.MBU/2012 tanggal 1 Oktober 2012 tentang pemakaian baju batik dalam rangka hari batik nasional yang menginstruksikan segenap jajaran BUMN di seluruh Indonesia untuk mengenakan batik pada tanggal 2 Oktober. Menurut Dennis (1997), hegemoni akan terus berlanjut ketika kekuatan dan pertahanan saling berinterkasi. Dalam hal ini pemerintah memiliki kekuatan untuk terus mempertahankan batik sebagai budaya yang dianggap milik kolektif nasional Indonesia.
 Kedua, kalimat batik ditetapkan dari Indonesia sebagai warisan budaya dunia adalah bentuk hegemoni. UNESCO mengatakan bahwa batik berasal dari Indonesia tapi milik dunia atau analogi yang mungkin lebih tepat adalah baju dari kamu adalah milik semua orang. Kalimat dari UNESCO pada dasarnya menciptakan hegemoni dan kita bangga akan kalimat tersebut. Seni budaya yang bernilai tinggi dan telah menjadi identitas budaya kita dengan proses yang memakan waktu berabad-abad serta mempunyai makna yang hanya dapat dimengerti oleh kita bangsa Indonesia dengan mudahnya kita serahkan kepada dunia untuk dijadikan komoditas yang akan diperjualbelikan secara massa bahkan dengan harga yang terjangkau.
Tiap daerah memiliki caranya sendiri dalam mengekspresikan budayanya dalam suatu desain Batik, selain kebudayaan, faktor-faktor lain juga mampu menghadirkan ekspresi atau ciri khas tersendiri yang akan menjadi cerminan wilayahnya, seperti adanya unsur flora, fauna, dan geografis (Cultura.International Journal of Philosophy of Cultural and Axiology p.143).
Hegemoni dimulai pada era setelah kemerdekaan. Presiden Soekarno sengaja memilih batik sebagai bentuk identitas nasional. Awalnya Soekarno menjadikan batik sebagai ‘pakaian nasional’ bagi para wanita Indonesia dimana agar dunia tau bahwasanya batik sangatlah anggun dikenakan wanita Indonesia. Pemilihan batik juga merupakan simbol budaya dalam upaya pencarian identitas nasional. Pada perkembangan pencarian identitas nasional di era Suharto, ada semangat ‘penyeragaman’seperti yangterjadi pada anjuran penggunaan seragam Korpri bagipegawai negeri sipil dan seragam batik untuk siswa-siswa SD, SMP dan SMA Negeri pada setiap tanggal 17, tanggal20 Mei dan anjuran tidak formal untuk mengenakan bajubatik lengan panjang setiap hari Jum’at. Melalui seragambermotif batik penguasa menegaskan kekuasaan birokratisdan politis hingga dapat disebut sebagai ritual penegasankekuasaan birokratis. Konvensi penggunaan kemeja batiksebagai busana untuk acara-acara resmi pengganti jas. Kini diproduksi pola-pola baru batik dengan corak Papua,Toraja dan seterusnya hingga dapat dikatakan bahwaterjadi ‘nasionalisasi’ penggunaan batik yang semula hanya busana bagi beberapa lokal tertentu di Jawa saja.
Pada Asia Pacific Economic Conference (APEC) diistana Bogor tahun 1994, batik sebagai identitas nasional mendapat perhatian dunia saat 18 pemimpin dunia seperti presiden Amerika Serikat Bill Clinton, Perdana Menteri Jepang, Canada dan lainnya berfoto bersama mengenakan kemeja batik sutera yang didesain oleh Iwan Tirta denganpola batik tradisional yang digabung dengan lambangkenegaraan yang terpampang di bendera masing-masingnegara. Dapat dikatakan bahwa selain ‘nasionalisasi’ jugaterjadi ‘internasionalisasi’ batik, mendunia sekaligus mempertahankan ciri lokalnya (Moersid, 2013).
Hal ini berimbas pada ‘batiknisasi’ di seluruh wilayah Indonesia. Dapat dilihat semua daerah di Indonesia memiliki batik dengan motif dan corak yang berbeda-beda sesuai kondisi demografis dan geografis mereka. Kebudayaan ‘bawaan’ mereka selain batik seakan tenggelam karena adanya efek domino ini. Selain itu, mereka juga ingin terlihat setara dengan Jawa dengan munculnya batik dari daerah mereka masing-masing.
Mengetahui bahwa identitas yang kuat memiliki sejumlah manfaat potensial untuk sebuah batik, misalnya menambahkan nilai produk semakin serupa, menghasilkan kepercayaan konsumen dan loyalitas. Sehingga dalam pemaknaan akan batik perlu di telusuri lebih benar-benar di yakini sebagai identitas nasional yang sangat berharga.

v  Batik sebagai Identitas
Tidak terbatas sebagai identitas dan citra batik itu sendiri, hal lain yang menarik ialah dalam sebuah jurnal Social Semiotics: Realizing Destination Image by Means of Cultural Representations oleh Hanita Hassan, menjelaskan semiotika sebagai sumber daya, sumber semiotik meliputi hampir segala sesuatu yang kita lakukan atau membuat kontribusi untuk arti, sehingga membuat jelas  sumber semiotik tidak terbatas pada ucapan, tulisan, dan gambar. Representasi budaya dengan mengenal sumber budaya seperti batik akan lebih mempermudah batik lebih berkembang dalam segala sector selain fashion, dibutuhkan suatu dukungan dan kreatifitas anak muda dalam implementasi identitas batik di negeri ini bahkan di ranah internasional..
 Batik turut berperan sebagai sumber daya dalam perspektif semiotika, ketika Indonesia yang memiliki banyak keragaman batik dan setiap daerah memaknai batik dengan cara mereka sendiri, itulah yang membuat perbedaan atas keunikan batik setiap daerah-daerah di Indonesia. Dengan kata lain, batik dan semiotika sosial adalah tentang bagaimana kita menggunakan sumber daya semiotik (batik) untuk menghasilkan makna dan makna tersebut mampu menjadi sesuatu kekuatan yang mampu menyatukan semua perbedaan menjadi suatu identitas batik sebagai budaya nasional. (International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 5, No. 1, January 2015).
Sebagai pelengkap, Batik bukanlah sebagai bahan yang menjadi fashion semata. Hegemoni batik pun berpindah melalui media kedalam bentuk permainan elektronik. Permainan yang sangat unik dengan menyisipkan gambar indah nan cantik membawa jiwa seni bangsa Indonesia. Nitiki games telah menyisipkan unsur batik dalam wahana permainannya. Elemen yang terkandung dalam batik menjadi representatif Indonesia secara interaktif dan tentunya menghibur. Adapun motif batk yang digunakan dalam permainan mengambarkan berbagai aspek kehidupan rakyat indonesia namun secara garis besar sering ditemui motif gambar yang mengandung nilai religius. Hal inilah yang mendukung upaya keberadaan batik sebagai bagian dari hidup bangsa Indonesia (Tresnadi, C & Sachari, A, 2015). 


v  Analisis Hegemoni Batik Sebagai Identitas Nasional Dari Sudut Pandang Semiotika Sosial
Semiotika sosial merupakan salah satu cabang dari studi Semiotika. Menurut M.A.K Halliday (dikutip dari Agustin, 2014) semiotika sosial merupakan cabang dari studi mengenai tanda yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Dengan kata lain, semiotika sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.
Dalam kaitannya dengan hegemoni batiknisasi di Indonesia, batik dilihat sebagai alat dalam melakukan hegemoni suatu kaum. Hegemoni batik adalah sistem tanda yang menandakan bahwasanya batik merupakan identitas nasional. Hal ini tercermin dari batik yang merupakan sebuah tanda dari etnis Jawa yang kental namun kini batik dijadikan identitas nasional. Didasarkan keputusan dari badan dunia UNESCO mengenai batik sebagai identitas negara Indonesia, menjadikan Indonesia (bukan hanya Jawa saja)  secara mau tidak mau harus mengakui batik sebagai simbol dari negeri ibu pertiwi ini di mata internasional.
Menurut M.A.K Halliday (dikutip dari Imran, 2014) dalam semiotika sosial, terdapat tiga komponen penting untuk menganalisis tanda dan simbol, yakni medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse).
1)        Medan Wacana (Field of Discourse)
Menurut definisinya, medan wacana merupakan konteks situasi dimana sebuah wacana itu muncul dan berawal dari mana. Menurut Halliday dan Hassan (dalam Sudibyo, Hamad, & Qodari, 2001) field of discourse menunjuk pada hal yang terjadi: apa yang dijadikan wacana oleh pelaku mengenai sesuatu yang sedang terjadi dilapangan peristiwa. Hegemoni batik ini merupakan kondisi dimana seluruh etnis di Indonesia secara ‘mau tidak mau’ mengakui bahwasanya batik merupakan identitas Indonesia, bukan produk lain. Terjadi batiknisasi atau dapat dikatakan seluruh pelosok Indonesia kini membuat batik dengan corak yang sesuai dengan karakteristik daerahnya. Padahal jika ditilik lebih jauh, mereka tidak punya nilai historis mengenai batik. Dilihat dari medan wacana dapat diketahui awal mulanya berawal dari pemerintah Republik Indonesia yang pada awal kemerdekaan tahun 1945 berusaha mencari identitas nasional. Dari sekian banyak yang dilihat dan diamati, terpilihlah batik menjadi suatu simbol atau tanda untuk menandakan ciri khas Indonesia sendiri. Salah satu alasan yang melatarbelakangi pemilihan batik adalah karena Soekarno (red: Presiden pertama Indonesia) merupakan keturunan bumi jawa, sehingga ia lebih memilih produk hasil etnisnya sebagai tanda dalam identitas negeri ini. Hal ini pun berlanjut ke masa setelahnya yakni orde baru yang dikomandoi Soeharto (yang juga etnis Jawa). Batik pun menjadi populer karena beliau mewajibkan pemakaian batik bagi para pegawai negeri sipil pemerintahan, siswa-siswi sekolah negeri dan para pelaku institusi negeri lainnya, pada hari-hari tertentu. Selain itu, setiap terdapat kunjungan kerja keluar negeri, Soeharto giat mempopulerkan batik di mata para petinggi dunia. Dan klimaksnya adalah setelah adanya deklarasi dari UNESCO tentang batik sebagai identitas nasional. Rakyat-rakyat non etnis Jawa seakan ‘tidak punya pilihan’ selain mengakui batik sebagai warisan leluhur. Produk non etnis Jawa seakan ‘tidak punya taring’ jika dibandingkan dengan batik, layaknya kain ulos, songket, koteka, dll. Pemerintah pun menjadi medan wacana atas hegemoni yang tercipta akan sebuah komoditas ‘Batik’. Batik menjadi simbol universal dari Indonesia di mata luar negeri, bukan produk komoditi Indonesia lainnya.
2)        Pelibat Wacana (Tenor of Discourse)
Pelibat wacana merupakan orang atau pihak-pihak yang terdapat dalam sebuah wacana dan karakteristik dari mereka semua. Pada kasus batik ini, pelibat wacananya adalah para petinggi dalam pemerintahan Indonesia, yakni pemerintah termasuk Presiden kita, dari era orde lama hingga reformasi kini. Petinggi negara ini dapat dilihat mayoritas merupakan putra putri etnis Jawa, sehingga tiada alasan untuk tidak memilih batik sebagai ikon dari Indonesia. Mereka lah yang punya peranan penting dalam proses hegemoni batik di Indonesia beserta proses penyebarannya. Batik dianggap cocok mewakili Indonesia terutama dalam menjadi identitas nasional. Berawal dari pemilihan batik menjadi ikon dalam proses pencarian identitas nasional oleh Soekarno, kewajiban menggunakan batik di kalangan pekerja lingkup pemerintahan dan institusi negeri sampai pada era kini dimana para desainer-desainer Indonesia mengkombinasikan batik dengan beragam outfit modern sehingga batik pun terlihat berbeda dan semakin menarik. Hal tersebut membuat posisi batik semakin kuat di mata internasional.
3)        Sarana Wacana (Mode of Discourse)
Poin terakhir setelah medan wacana dan pelibat wacana adalah sarana wacana. Bagaimana sebuah wacana dapat menjadi menyebar adalah melalui sarana wacana ini. Fokus dari sarana wacana adalah bagian bahasa yang akan digunakan dalam menyebarkan wacana, baik secara halus, hiperbolis, maupun vulgar. Yang digunakan pun dapat berbentuk lisan maupun non lisan, tergantung dari para medan dan pelibat wacana. Dalam wacana tentang hegemoni batik ini, para elit politik menggunakan cara secara terselubung dan tidak mudah untuk diketahui oleh banyak pihak. Proses hegemoni batik pun dilakukan dengan berbagai cara namun tidak secara terang-terangan, misalnya dengan kewajiban menggunakan batik di kalangan pelaku dari institusi negara, lawatan ke luar negeri dengan menggunakan batik dan memperkenalkan dimata internasional, dan masih banyak sarana yang dapat digunakan dalam menyebarkan batik sebagai identitas nasional. Pemerintah berusaha tidak mem-blow up hasil budaya selain batik dan tetap menggunakan batik sebagai jati diri Indonesia. Hal ini pun semakin diperkuat oleh kehadiran media-media yang terus memberitakan kelebihan dan semua hal yang menyangkut batik, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Batik pun kini menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari Indonesia.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
            Pemerintah telah sukses menanamkan hegemoni terselubung akan Batik sebagai identitas nasional dimana setiap orang berusaha dipengaruhi untuk memiliki rasa cinta dan memiliki keinginan untuk mengenakan Batik sesuai dengan ketetapan Pemerintah, terlepas dari keterpaksaan yang mungkin sempat dirasakan oleh sebagian orang. Buktinya hampir disetiap daerah di Indonesia sudah memiliki Batik sesuai dengan keunikan dan kekhasan daerah tersebut. Batik yang notabene merupakan sebuah kebudayaan Jawa nan kental berubah menjadi identitas nasional yang membuatnya digunakan oleh banyak masyarakat di Indonesia dengan beragam latar belakang. Keputusan UNESCO bahwa Batik merupakan warisan dunia dan identitas negara Indonesia, membuat kita sebagai masyarakat Indonesia harus berusaha memperkuat pengukuhan Batik sebagai simbol kebudayaan Indonesia.
Saran
-          Menanamkan kepercayaan bahwa Batik sebagai identitas bangsa adalah hal penting, namun menghormati kebudayaan Indonesia yang beragam merupakan hal yang lebih penting lagi
-          Mengembangkan Batik agar diterima luas oleh masyarakat Indonesia melalui cara kreatif merupakan salah satu cara menjaga lestarinya Batik
-          Sikap kritis dari dalam diri sendiri akan hegemoni yang diterapkan pemerintah hendaknya tidak memunculkan konflik



DAFTAR PUSTAKA

Buku
Brandes, J.L.A. (1889). Een jayapatra of acte van eene rechterlijke uitspraak van caka 849. TBG. 32.
Bratasiswara, H. (2000). Bauwarna adat tatacara Jawa. Jakarta: Yayasan Suryasumirat.
Elliot, I.M. (1984). Batik: Fabled cloth of Java. New York: Clarkson N. Potter, inc/Publisher.
Heryanto, A. (2008). Popular culture in Indonesia: Fluid identities in post-authoritarian politics. New York: Routledge.
Purwanto, S.A.& Sekomoto, T. (2005). Trusmi, desa batik Cirebon: Studi sosial budaya mengenai keberadaan kerajinan batik tradisional. Depok: PSJ-UI.
Sudibyo, A., Hamad, I., & Qodari, M. (2001). Kabar-kabar kencian prasangka agama di media massa. Jakarta: ISAI.
Yahya, A. (1985). Sejarah Perkembangan Seni Lukis Batik Indonesia. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pengkajian, Kebudayaan Nusantara (Javanologi).

Jurnal
Berger, A. A. (2014). Semiotics and society. Spinger science+business media New York, Soc (2014)51:22–26 DOI 10.1007/s12115-013-9731-4.
Christense, A. T., & Askegaard, S., (2001). Corporate identity and corporate image revisited-A semiotic perspective. European Journal of Marketing,35, 292-315.
Dennis, K. M. (1997). The problem of hegemony: Rereading gramsci for organizational communication studies. Western Journal of Communication, 61(4), 343-375.
Imran, H. A. (2014). Semiotika sosial sebagai alat analisis teks dalam penelitian komunikasi kualitatif.Jurnal INSANI, 1(1), 3-4.
Li Y, Hu CJ & Yao X. (2009). Innovative Batik design with an interactive evolutionary art system.Journal of Computerscience and Technology, 24(6),1035–1047.
Moersid, A. F. (2013).  Re-invensi batik dan identitas Indonesia dalam arena pasar global. Jurnal Ilmiah Widya, 1(2), 123-124.
Sarpong, G. D., Howard, E. K., & Osei-Ntiri, K. (2011). Globalization of the fashion industry and its effects on Ghanaian independent fashion designer. Journal of Science and Technology, 31(3). 97-106.
Suzianti, A., Hanum, S.R., Anisah, N.N., &Aprilliandary, S.  (2014). Knowledge management system for creative small medium enterprise in Indonesia-Case study: Batik. International Journal of Sustainable Human Development, 2(2), 64-73.
Tresnadi, C & Sachari, A (2015). Identification of values of ornaments in indonesian batik in visual content of nitiki games. Journal of Arts and Humanities, 4(8), 2167-9045.
Yunus, U., & Tulasi, D. (2012). Batik semiotics as a media of communication in Java. Internatiional Journal of Philosophy of culture and axiology,9(2), 143-150.




Dokumen
Agustin, I. S. (2014). Analisis Semiotika Sosial Pemberitaan Pernikahan Beda Agama Pada Asmirandah Dengan Jonnas Rivano Di Situs Tempo.Co (Skripsi Sarjana, UIN Syarief Hidayatullah, 2014). Diakses dari http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26591/1/IKA%20SUCI%20AGUSTIN-FDK.pdf
Shafita, M., H. (2009). Wacana Tentang Batik dalam Media Massa: Tren, Identitas dan Komoditas (Tesis Magister, Universitas Indonesia, 2009). Diakses dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/123324-T%2025911-Wacana%20tentang-Kesimpulan.pdf
Subroto, PH.(1991). Kedudukan dan Peranan Golongan Pengrajin dan Tukang Pada Masa Jawa Kuna. Laporan Penelitian. Fakultas sastra Universitas gadjah Mada, Yogyakarta
Sugiyem. (2008). Makna filosofi batik. Diakses pada 20 September 2015, dari,  http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Sugiyem,%20S.Pd./Makna%20Filosofi%20Batik-WUNY.pdf


You Might Also Like

0 komentar