Rindu.
Dua suku kata yang membelenggu.
--
Aku merindukannya.
Apa aku terlihat seperti orang yang malu untuk mengakuinya? Atau malah aku terlihat seperti gadis kecil yang merengek minta dibelikan balon dan harum manis?
Tak cukup nyali aku untuk mengatakannya karena yang merasakan rindu adalah hatiku.
Sedangkan aku bukan hanya persoalan tentang hatiku. Ada banyak hal lain yang ada dalam diriku.
--
Kemarilah. Aku bisikan sesuatu.
Rindu ini sudah sampai pada tahap dimana tidak bisa lagi untuk dibendung. Dan aku mencintaimu dibalik jendela hitam bertuliskan rindu.
--
Dimana aku harus menumpahkannya? Aku yakin tak ada ruang yang muat untuk menampungnya. Aku pastikan itu.
Jika rindu sendiri adalah sebuah rumah, sebagai penghuni setianya, maka aku tidak akan pernah mau beranjak pergi.
Jika malam mampu berbicara, aku yakin ia bosan dan sudah mencekik tubuhku dengan udara dinginnya.
--
Rindu.
Jadi, dimana itu?
Apakah yang sedang dibicarakan lewat secangkir kopi? Atau keresahan yang coba disembunyikan dengan puntung rokok?
Apa jangan-jangan...
Rindu itu...
Pelukan hangat yang kau berikan padaku semalam?
--
Rindu.
Dapatkah kita saling bertemu?