11:19 PM
---
Tulisan ini berawal ketika saya melihat seorang gadis kecil yang bermain ayunan di sebuah taman. Dia tidak sendirian, di depannya seorang laki-laki yang mempunyai wajah sama dengannya siap menangkap dan mendorong tiang ayunan. Gadis kecil itu terdengar sekali memanggilnya dengan sebutan "ayah". Bukan sebuah pemandangan indah yang patut dipandangi dalam jangka waktu yang lama. Tetapi, mata saya tidak dapat berpaling dari momen yang terasa hangat diantaranya keduanya. Berkali-kali kedua kelopak mata saya berkedip, mereka masih disana—gadis berumur empat tahun tetap duduk di ayunan yang berayun berkat dorongan dari sang ayah.
Ah senangnya, batin saya. Apa yang terjadi oleh kedua orang tersebut mampu membawa saya pada potongan ingatan masa lalu dimana seorang laki-laki berkulit putih, rambut cepak dan beruban, mata sipit, dan bibir tipis bertatapan dengan lamunan saya. Sama seperti gadis kecil tadi, saya memanggilnya "papa". Beda panggilan tapi ditujukan pada sosok yang sama. Setidaknya selama tiga belas tahun, saya menciptakan momen bersama papa yang tak kalah indahnya dengan gadis kecil—yang saya tidak tahu siapa namanya. Bisa jadi, dulu saya juga pernah menaiki ayunan dan papa saya mendorong keras tiangnya hanya agar putri kecilnya ini tertawa riang. Saya tidak ingat, mungkin kenyataannya saya dan papa saya tidak melakukan itu.
Setiap teringat dengannya, saya hanya bisa berdiam diri. Kadang ketika saya berbaring di atas kasur kamar, duduk sambil menonton televisi yang lama-lama suaranya tidak terdengar, atau bahkan ketika saya mengendarai motor (jangan ditiru, ya). Seringnya, ketika saya mengingat papa saya yaitu ketika saya berbaring ke kanan dan memeluk guling empuk. Dari situ, saya mengingat wajahnya, apa saja yang telah papa saya lakukan, kebiasaannya, bahkan saya juga mengingat-ingat saat pertemuan terakhir saya dengannya.
Saya mengakhiri ingatan saya dengan hal yang sama, tetesan air mata. Terdengar cupu, ya? Tapi yang jelas, saya menjadi gadis cengeng setiap melakukan hal yang saya tahu bahwa saya selalu menangis.
Kadang saya berandai-andai, bagaimana jadinya kalau papa saya masih bersama saya, mama, kakak, dan adik saya. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, anak dari kakak saya bisa melihat kakeknya. Mungkin setiap minggu dia akan diajak ke tempat wisata, dibelikan mainan baru, dan diberi uang saku. Kedua, adik saya bisa mendapat semua keinginannya. Sekarang usia adik saya dua belas tahun, berarti papa saya berusia lima puluh lima tahun. Papa saya masih bisa mengendari motor dan adik saya tidak perlu khawatir siapa yang akan mengantar dan menjemputnya sekolah. Oh! Bisa jadi adik saya akan bersekolah di sekolah gedongan seperti saya dan kakak saya, bukan di sekolah dekat rumah.
Kemungkinan ketiga, mama saya tidak perlu berpikir dan bekerja terlalu keras bahkan ketika mendekati pensiun. Membuka usaha pasti akan mendapat dukungan penuh dari papa saya. Ah iya! Toko kecil-kecilan di teras rumah kami dulu bisa saja jadi toko besar! Etalase-etalase kaca bertambah banyak, mungkin papa saya juga akan menambahkan lemari kayu yang besar. Lalu mengganti mesin fotokopi dengan mesin yang lebih besar dan canggil serta tempat menyimpan uang yang bisa mengeluarkan struk pembelian.
Oh! Dulu kami menamainya "Cahaya Cell". Ah, pasti sekarang jadi toko yang besar dan ada cabang! Hahaha
Kemungkinan buat saya sendiri pasti banyak. Saya tidak perlu menyusahkan teman ketika berangkat sekolah dulu karena papa saya pasti membelikan sepeda motor untuk anaknya. Yang paling penting, papa saya akan datang ketika wisuda dan pelepasan waktu SMA. Apalagi ketika kuliah, ah papa saya pasti akan mengunjungi saya setiap minggu. Kalau mama saya kurang memberi uang saku, ada papa saya kan? Saya tinggal bilang dan beliau pasti mengerti. Lalu, saya tidak perlu mengantri dan berdesak-desakan menaiki bus untuk pulang ke rumah, papa saya mungkin akan menjemput saya dengan sepeda motor merk blitz kawasaki warna hitam kesayangannya.
Hmm. Mobil seperti apa ya yang akan papa saya beli?
Kemungkinan lainnya ialah liburan. Saya nggak hanya melihat teman-teman yang memasang foto profil dengan latar landmark negeri tetangga, bahkan bisa saja saya juga akan berfoto disana dengan papa saya. Everythings will happen with my dad.
Ah senangnya, batin saya lagi.
Namun yang pasti, kemungkinan-kemungkinan di atas tidak dapat terjadi karena kondisinya berbeda bahkan justru sebaliknya. Yeah, saya sadar setiap kali kedua manik saya mengeluarkan butiran-butiran yang membasahi pipi saya setiap malam. Bantal, guling, dan selimut jadi korban. Apakah rasanya seperti itu jika kita mengingat orang yang disayang?
Apakah setiap gadis akan menangis jika mengingat papanya yang sudah tidak ada bersamanya? Apakah hanya saya saja?
Jika iya, saya berharap itu hal yang normal.
Setiap saya merasa rindu dengannya, itulah hal yang saya bayangkan. Hanya bayangkan karena meminta kepada yang berkehendak pun tidak dikabulkan. Satu-satunya cara yang saya lakukan untuk meredakannya ialah memandang kemudian menyimpan baik-baik foto almarhum papa saya. Setelahnya, saya berdoa dan tertidur lelap. Saya tidak pernah dan tidak ingin melewatkan 'adat' bertemu papa saya, meski hanya sebatas memandangi nama, tanggal lahir, tanggal wafat, dan tanah di tempat papa saya tertidur.
Saya pikir, itu obat rindu bagi saya.
Tidak jarang sifat dan tingkah papa, saya terapkan. Spontan, saya mengadopsi bagaimana papa saya berbaik hati memberikan uang kembalian kepada tukang parkir. Cerita sedikit, papa saya adalah orang yang bijaksana dan begitu menyayangi anaknya. Papa tidak pernah marah ketika di bangku sekolah dasar, saya mendapat nilai 60-70. Papa selalu mengatakan, "Wah hebat bisa dapet nilai 60" atau tidak pernah lelah mengajari saya pembagian di matematika. Dulu, saya kerap masuk ke ruang kerja papa saya hanya untuk menanyakan satu soal matematika atau meminjam telepon.
Namun, satu hal lancang yang selalu saya perbuat adalah meminum fanta merah ketika papa menyuruh saya membelinya. Hanya seteguk dan selalu begitu. Untungnya, papa tidak pernah curiga atau menanyakan pada saya kenapa volumenya jadi berkurang. Bahkan setiap kali membeli es kelapa, saya beralasan bahwa itu diminta oleh papa agar diberi daging kelapa muda (penjual es kelapa di kampung saya tidak mau repot memilih-memilih kelapa muda) padahal papa saya tidak menyuruh untuk membelinya.
Kadang saya juga membayangkan, bagaimana jadinya ketika saya berulang tahun dan papa merayakannya seperti anak lain pada umumnya. Bisa jadi papa saya akan mengundang seluruh teman saya, membelikan kue ulang tahun, menyewa di rumah makan fastfood, dan ada pemandu acaranya. Pasti meriah dan perayaan itu jadi perayaan ulang tahun kedua, selain saat umur saya menginjak enam tahun.
Sampai sekarang pun saya masih terus membayangkan hal apa saja yang akan saya dan papa lakukan. Semoga apa yang saya lakukan tidak akan membuat perasaan tidak nyaman untuk papa sekarang. Saya tidak mempunyai tempat berkeluh kesah. Jangankan tempat, kepada siapa saya harus mengungkapkannya saya tidak tahu dan terlalu malu mengutarakannya. Bukan berarti saya tidak bersyukur atas apa yang telah menjadi milik saya saat ini, sebaliknya. Saya hanya berandai untuk membuat bahagia diri saya—
dan saya pikir cara itulah yang tepat.
Saya bersyukur bahwa saya masih mampu untuk mendoakan agar papa saya mendapat kehidupan yang layak dan bahagia disana.
---
12.34 AM